Tanggal: 3 Juni – 31 Juli 2016
Lokasi: Titian Art Space
Jl. Bisma No: 88 Ubud
Lukisan gaya Batuan sangat padat, dalam dan penuh. Dengan warna gelap dan tema yang kadang-kadang mengerikan. Lukisan ini dibuat dengan teliti dan seimbang. Tingkat energi yang tinggi baik dari segi bentuk dan isi menjadi karakter Batuan.
Bruce Granquist (2012)
Mendobrak tradisi dan menjadi unik adalah ciri khas I Nyoman Ngendon, salah seorang seniman besar dari desa Batuan yang terletak 16 km sebelah selatan Ubud. Ngendon seorang seniman dengan berbagai bakat. Selain merupakan seorang pejuang keras melawan penjajahan, ia mungkin seorang pengusaha seni pertama di tahun 1930-an. Ngendon sangat senang membagikan teknik melukisnya, dan mempengaruhi murid-muridnya untuk mendobrak tradisi dan menjadi inovator seni dengan menciptakan gaya mereka sendiri.
I Wayan Taweng belajar melukis terutama dari I Nyoman Ngendon dan mulai mengajar anak-anak dan tetangganya. Sebagai guru, dia menekankan agar murid-muridnya menemukan visi mereka sendiri. Ia mengajar mereka teknik-teknik dasar dan cara memakai bahan. Para murid diharapkan untuk melakukan penyelidikannya sendiri agar menemukan gaya mereka sendiri dan untuk membuat cabang baru. Dia melarang murid-muridnya meniru karyanya.
Pameran ini menampilkan karya Taweng dan tiga anak-anaknya yang lebih muda yaitu: I Ketut Sadia, I Wayan Diana, dan I Made Griyawan, serta satu cucunya, I Gede Widyantara.
Keempat seniman memiliki gaya mereka sendiri yang mencerminkan jejak Ngendon baik dalam berkesenian maupun dalam kehidupan; pengabdian bagi kebebasan berekspresi dalam kesenian.
I Wayan Taweng
Batuan, 1922-2004
Mulai melukis pada usia 8 tahun dari I Nyoman Ngendon. Rudolf Bonnet mengajarinya teknik pewarnaan. Taweng memamerkan karyanya di Bali dan Jakarta dan menerima penghargaan Wijaya Kusuma dari pemerintah Gianyar pada tahun 1999.
Sang Lutung yang Malang
51 x 33 cm, Acrylic di Kertas, 2000
Lukisan ini diambil dari cerita Tantri. Tentang si kera dan si kambing yang mengadakan perjanjian kerjasama menanam kacang tanah. Janjinya umbi, kacangnya untuk si kera dan daunnya untuk si kambing. Tapi ketika menanam, si kera tidak mau ikut bekerja dan hanya menyuruh kambing dan anaknya yang bekerja.
Karena itu, setiap daun kacang mulai tumbuh, si kambing dan anakknya memakannya. Maka kacang itu tidak berapa lama mati. Si kera marah dan mendapat ide jahat dengan menyuruh si macan memakan si kambing dan anaknya.
Niat jahat si kera diketahui si kambing. Iapun mencari akal. Ia memakan sejenis bunga berwarna merah dan menunggu kedatangan si macan dan si kera di tepi sebuah danau. Si macan datang dengan si kera naik di atas punggungnya. Karena si macan pernah ditipu si kera sebelumnya, si macan mengikatkan ekornya ke ekor si kera, agar si kera tidak melarikan diri. Ketika si macan datang, si kambing (yang mulutnya merah setelah makan bunga) berterimakasih kepada si kera karena telah menepati janjinya membawa seekor macan lagi. Ia mengatakan bahwa Ia dan anaknya masih lapar setelah makan satu macan dan membuang kepalannya ke danau. Si macan tidak percaya. Si kambing menyuruh si macan melihat ke dalam air danau. Si macan melihat bayangan kepalanya sendiri dan segera lari, takut dimakan si kambing. Si kera yang ada di punggung si macan jatuh dan terseret sampai mati (karena ekor keduanya terikat).
I Ketut Sadia
Batuan, 1966
Belajar melukis dari ayahnya, I Wayan Taweng dan kakaknya I Wayan Bendi, karya Sadia telah dipamerkan baik di Bali, Jakarta maupun luar negeri. Museum yang telah mengusung karya Sadia termasuk Museum ARMA, Museum Puri Lukisan, Museum Neka, Museum Nasional Jakarta, Singapore Art Museum, Tampere Art Museum, Finlandia, Fukuoka Art Museum, Jepang dan KBRI Washington DC. Sadia merupakan salah seorang penerima Jakarta Art Award pada tahun 2008.
Kolaborasi Dua Naga
135 x 58 cm, Acrylic di Kanvas, 2015
Sadia adalah seorang pengamat politik baik domestik maupun internasional. Kedua naga mewakili hubungan politik antara Korea Utara dan Korea Selatan, dua negara dari rumpun yang sama yang terbagi karena politik yang berlawanan. Sadia berharap kedua negara ini dapat memperbaiki perbedaan mereka dan saling melengkapi sebagai cara untuk menciptakan perdamaian baik di negara mereka maupun di dunia. Naga-naga ini berada di dua sisi yang berlawanan seolah terlibat dalam pembicaraan frontal untuk memulai persahabatan yang abadi.
Perpaduan Budaya Jepang dan Bali
100 x 80 cm , Acrylic di Kanvas , 2013
Dalam lukisan ini Sadia menunjukkan perpaduan dua budaya dengan menampilkan pertunjukan Sumo di Bali. Sementara peminat dari Jepang menikmati pertunjukan dengan minum sake, masing-masing dengan gadget dan kamera mereka, orang Bali mendukung acara dengan cara tradisional, dengan menarikan Kecak.
I Wayan Diana
Batuan, 1977
Anak ketiga belas dari I Wayan Taweng, Diana belajar melukis dari ayahnya dan pamannya, I Ketut Tomblos. Dia memamerkan karyanya di Bali dan Jakarta termasuk di “Pesta Puri Dan Situ Taksu” di Jakarta dan Traditional Art Biennale # 1 juga di Jakarta. Diana juga adalah finalis dari Jakarta Art Awards pada tahun 2008 dan 2010.
Gunung Meletus
250 x 90 cm, Acrylic di Kanvas, 2015
Banyak bencana alam terjadi di kepulauan Indonesia, salah satunya gunung meletus. Bencana ini memaksa penduduk di suatu daerah meninggalkan tanah kelahirannya dan pindah ke daerah lain dengan adat yang berbeda. Dalam lukisan ini digambarkan interaksi masyarakat adat Bali dengan masyarakat adat asli Papua. Meskipun mereka berbeda adat, para pengungsi harus diterima dengan tangan terbuka karena kita satu bangsa dan satu ras, manusia.
Habis-Habisan di Jalur Gaza
150 x 70 cm , Acrylic di Kanvas, 2014
Mengutip kejadian di Jalur Gaza ketika para tentara Israel dikejar dan di lempar batu oleh anak-anak.
I Made Griyawan
Batuan, 1979
Adik dari I Ketut Sadia dan I Wayan Diana, Griyawan juga belajar melukis dari ayahnya, I Wayan Taweng. Menjadi anak bungsu, karya-karya awal Griyawan merupakan yang paling dekat dengan gaya ayahnya. Namun, tema segar selalu muncul dari Griyawan yang akhirnya sangat membedakan gayanya dari sang ayah. Karya-karnyanya telah dipamerkan di KBRI Washington DC pada tahun 2015 dan di Titian Art Space pada pembukaan ruang seni ini di bulan Januari 2016.
Bali Buldozer
100 x 80 cm, Acrylic di Kanvas, 2009
Dalam lukisan ini Griyawan menunjukkan keprihatinannya pada Bali dengan tatanan alam dan budayanya yang sedang dikikis oleh oknum-oknum yang hanya memikirkan kepentingan pribadi.
Naiknya Kundalini
60 x 50 cm, Acrylic di Kanvas, 2012
Lukisan ini menunjukkan cerminan pencapaian dalam kesadaran dimana setiap tingkat kesadaran ada proses yang mesti dilewati dengan keseimbangan antara energi positif dan negatif.
I Gede Widyantara
Batuan, 1984
Widyantara adalah salah satu cucu I Wayan Taweng yang mewarisi bakat seni sang kakek. Walaupun telah menyelesaikan studi nya di Universitas Udayana, Widyantara memutuskan untuk terjun secara total dalam dunia seni lukis. Sebagai anak muda, Widyantara selalu muncul dengan tema-tema kreatif.
Pahlawan Kesiangan
115 x 81 cm, Acrylic di Kanvas, 2015
Bahkan di negara super power seperti Amerika pun, sering juga terjadi terlambatnya pertolongan. Mungkin karena yang bertugas sudah sangat sejahtera (dilukiskan dengan Superman gendut), yang menyebabkan sang pahlawan susah bergerak cepat.
Topeng Korup
60 x 40 cm, Acrylic on Canvas, 2016
Sudah menjadi rahasia umum bagi politisi menebar janji selama masa kampanye, dan tidak memenuhi janjinya setelah terpilih. Meminjam dan menghabiskan banyak uang untuk membeli suara, akhirnya membuat si pemenang melakukan korupsi untuk membayar hutang mereka. Widyantara menggambarkan kejadian ini dengan tubuh sang koruptor yang setengahnya sudah terendam dalam air.