Sanggar Bares

Sanggar Bares
Seni identik dengan semangat kebebasan, seperti bebasnya pikiran anak anak dalam mengekpresikan diri dalam permainannya. Menjaga selama mungkin semangat ketidak terikatan pikiran menjadi landasan yang sepertinya cukup kekeh dipertahankan oleh I Nyoman Bratayasa, seorang perupa yang membiarkan pekarangan rumahnya di lingkungan Banjar Glogor Desa Lodtunduh, Ubud, dipergunakan oleh lebih dari 40 anak dari usia 5 sampai belasan tahun untuk tempat menggambar dan melukis dengan alat dan bahan yang ia sediakan sebagai penunjangnya. Sanggar yang ia gagas dengan nama Sanggar Bares ini mencerminkan filosophi kemurah hatian, (seperti kata “bares” dalam bahasa bali bisa berarti murah hati). Memberikan kebebasan kepada anak anak untuk bermain dan mengungkapkan daya imajinasinya dalam media melukis, menggambar. Tak ada metoda pengajaran tertentu yang didiktekan oleh Bratayasa kepada tiap anak di sanggar ini, hanyalah tumpukan katalog pameran lukisan ataupun majalah seni rupa yang terkumpul olehnya diberikan secara acak sebagai perangsang bagi imajinasi sang anak dalam berkreasi.
Fase mimesis sebagai fase awal anak anak untuk memasuki wilayah kreatifitas nampak masih terlihat di beberapa karya dari puluhan lukisan yang terkumpul dari anak anak itu. Torehan dan goresan yang nampak apa adanya sangat kentara menghiasi permukaan kertas sebagai bidang lukisan. “Garis Sebenarnya” yang muncul dari polosnya pikiran anak dalam menangkap kompleksnya sistem berfikir yang belum terinterkoneksi sedemikian rupa sehingga jauh dari kesan canggih, mengingat usia dari anak anak itu sendiri. “True Line” yang kami terjemahkan menjadi garis kejujuran, kami anggap sangat penting untuk ditumbuh kembangkan dalam atmosfer dan ekosistem yang saling bersinergi demi terlahirnya embrio embrio kesenian di masa depan.